Makalah Perkembangan
Peserta Didik
Perkembangan Kognitif di
Awal Remaja
Dosen Pengampu : Dra.Hj. Seniati, M.pd.
Disusun Oleh :
Mutia Alfi Rahmania (2014001091)
Hartutik Sulistyo Wati (2014001099)
Ayu
Permatasari (2014001115)
Rina
Marlisa (2014001119)
Siti
Wasingatur Rohmah (2014001135)
PROGAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
FAKULTAN KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA
TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan Psikologi Perkembangan Peserta Didik
meliputi mulai dari perkembangan pranatal sampai perkembangan pada masa dewasa.
Pembahasan sebelum ini adalah tentang perkembangan anak masa sekolah yang
dikenal juga dengan perkembangan akhir masa kanak-kanak, yang mana pada masa
anak-anak yang sudah melanjutkan ke jenjang pendidikan sekolah dasar.
Selanjutnya dalam bab ini kami akan membahas tentang perkembangan peserta
didik pada masa remaja yang mana pada masa ini adalah masa peralihan dari masa
sekolah menuju masa puberitas, yang mempengaruhi penyesuaian diri pribadi dan
penyesuaian sosial anak.
Dari uaraian di atas sudah tergambar pembahasan yang
akan kami uraikan dalam makalah ini, yaitu tentang “Perkembangan Peserta
Didik diawal Remaja” Rumusan masalah yang akan dibahas dapat kami gambarkan
dalam uraian berikut ini:
1.
Pengertian Perkembangan
Kognitif
2.
Perkembangan
Pengambilan Keputusan
3. Perkembangan
Orientasi Masa Depan
4. Perkembangan
Kognisi Sosial
5. Perkembangan
Penalaran Moral
6. Perkembangan
Pemahaman Agama
B. TUJUAN
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuannya adalah untuk:
1. Memahami pengertian perkembangan
kognitif.
2. Memahami Perkembangan Pengambilan Keputusan
3. Memahami Perkembangan Orientasi Masa Depan
4. Memahami Perkembangan Kognisi Sosial
5. Memahami Perkembangan Penalaran Moral
6. Memahami Perkembangan Pemahaman Agama
BAB II
PEMBAHASAN
1. Perkembangan
Kognitif
Perkembangan Intelegensi/Kognitif
Perkembangan intelegensi/kognitif
adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir,
dan bahasa.
·
Sensori Motor pada usia 0-2 tahun ( Pra PAUD )
Tahap ini ditandai
oleh seorang individu berinteraksi dengan lingkunganya melalui alat indera dan gerakan.
Perkembangan kognitif pada tahap ini didasarkan pada pengalaman langsung dengan
pancaindra. Owens,Jr.(1984) mengatakan secara berangsur-angsur anak mulai mampu
mempresentasikan realita melalui simbol dan menemukan cara-cara memenuhi
keinginanya. Kegiatanya misalnya
mengambil sesuatu dengan menarik kursi, menirukan gerakan tertentu, dan
mengenal teman-temanya.
·
Praoperasional pada usia 2-7 tahun ( TK, Play
Group sederajat )
Tahap ini juga disebut
dengan tahap intuitif dimana terjadinya perkembangan fungsi simbol, bahasa,
pemecahan masalah yang bersifat fisik serta kemampuan mengategorisasikan.
Proses berfikir pada masa ini ditandai dengan keterpusatan, tak dapat diubah,
dan egosenrtis.
·
Operasi Kongkret pada usia 7-11 tahun SD/ MI
Sederajat
Proses berfikir anak
harus kongkret, belum bisa berfikir abstrak. Dengan demikian, pada masa ini
dalam menyelesaikan masalah anak menggunakan logika-logika yang kongkret atau
bersifat fisik. Kemudian pada tahap ini pula anak sudah mulai dapat menyusun
kategori berdasarkan hierarki.
·
Operasi Formal pada usia 11 tahun ke atas ( SMP s.d Perguruan Tinggi )
Proses berfikir pada
masa ini sudah mulai abstrak, penalaran yang kompleks sudah mulai digunakan,
dan sudah dapat menguji satu hipotesis dalam mentalnya.
Piaget (dalam Papalia &
Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan
kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan
sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk
berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan
kognitif ini sebagai tahap operasi formal (suatu tahap
dimana seseorang sudah mampu berpikir secara abstrak).
Pada tahap ini, remaja
juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai
membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang
terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk
berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai
peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu
tujuan di masa depan (Santrock, 2001).
Salah satu bagian
perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh
remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (ketidakmampuan melihat
suatu hal dari sudut pandang orang lain) (Piaget dalam
Papalia & Olds,
2001). Elkind (dalam Beyth-Marom et al., 1993; dalam
Papalia &
Olds,
2001) mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang
dikenal dengan istilah personal fable (berisi keyakinan
bahwa diri seseorang adalah unik dan memiliki karakteristik khusus yang hebat,
yang diyakini benar adanya tanpa menyadari sudut pandang orang lain dan fakta
sebenarnya). Beberapa uraian tentang pengertian kecerdasan/intelegensi menurut
para ahli :
a. S.C.
Utami Munandar : kemampuan berpikir, belajar, menyesuaikan diri.
b.Alferd Binet : kemampuan beradaptasi, mengadakan kritik
terhadap masalah yang dihadapi, dan kemampuan untuk memecahkan masalah.
c.L.L. Thurstone : kecakapan mengamati dan menafsirkan, kecakapan
dan kefasihan untuk menggunakan kata – kata, kecakapan mengingat.
d.Edward Thorndike : kemampuan individu untuk memberikan respon
yang tepat terhadap stimulasi yang diterimanya.
e.George D. Stodard : kecakapan dalam menyatakan tingkah laku.
f.William Stern : kapasitas atau kecakapan umum pada individu
secara sadar untuk menyesuaikan pikirannya pada situasi yang dihadapinya.
g.Carl Whitherington : kemampuan bertindak sebagaimana
dimanifestasikan dalam kemampuan – kemampuan/kegiatan – kegiatan.
h.J.P. Chaplin (1975) : kemampuan menghadapi dan menyesuaikan
diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif.
i.Anita E. Woolfok (1995) : kemampuan untuk belajar, memperoleh
dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan
lingkungan.
Teori – teori
intelegensi yang dikembangkan beberap a orang ahli antara lain sebagai
berikut :
1).Teori two factor oleh Charles Spearman (1904) yang berisi teori “g” (general factor) dan “s” (specific factor).
2)Teori primary mental abilities oleh Thurstone (1938) yang berisi kemampuan verbal/berbahasa,
kemampuan nalar/berpikir logis, kemampuan tilikan ruang, kemampuan menghitung,
kemampuan mengamati dengan cermat.
3) Teori multiple intelligence oleh J.P. Guilford dan Howard Gardner. Teori ini
berisi operasi mental (proses berpikir), content (isi yang dipikirkan), product
(hasil berpikir).
4) Teori triachic of intelligence oleh Robert Stenberg (1985, 1990). Teori ini berisi tentang psoses
berpikir, meniru/belajar dari pengalaman baru, dan adaptasi dengan lingkungan.
Tingkatan intelegensi
:
a) Idiot (IQ 0 – 29).
b) Imbecile (IQ 30 – 40).
c) Moron atau debil (IQ 50 – 59).
d) Bodoh (IQ 70 – 79).
e) Normal rendah (IQ 90 – 109).
f) Normal tinggi (IQ 110 – 119).
g) Cerdas/superior (IQ 120 – 129).
h) Sangat cerdas/gifted (IQ 130 – 139).
i) Genius (IQ > 140).
2. Perkembangan Pengambilan Keputusan
a.
Pengambilan keputusan (decision making)merupakan
salah satu bentuk perbuatan berfikir dan hasil dari perbuatan tersebut
keputusan.ini berarti bahwa dengan melihat bagaimana seorang remaja mengambil
suatu keputusan, maka dapat diketahui perkembangan pemikirannya
Remaja dapat memahami bahwa tindakan
yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang.
Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari
tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya.
Dengan kemampuan tersebut maka remaja semakin yakin akan kemampuannya dalam
mengambil keputusan sendiri dan tidak lagi terlalu
tergantung pada kepada orang lain
(Murniati & Beatrix, 2000) yang sering mengakibatkan konflik remaja dengan
sekolah, orangtua atau lingkungannya.
Pada tahap ini, remaja juga sudah
mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai
membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang
terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk
berpikir lebih logis.
3. Perkembangan Orientasi Masa Depan
Bagi remaja pada umumnya, masa depan baru merupakan
bayangan, suatu konsep yang belum jelas. Ada kecenderungan apa yang
dilakukannya saat ini belum berorientasi ke masa depan. Remaja masih menghadapi
kebingungan akan perannya di masa datang.
Orientasi masa depan sangat erat kaitannya dengan
harapan-harapan, tujuan, standar serta rencana dan strategi yang dilakukan
untuk mencapai sebuah tujuan, mimpi-mimpi dan cita-cita (Nurmi, 1991). Nurmi
menyebutkan bahwa orientasi masa depan merupakan sesuatu yang kompleks, multi
dimensi dan banyak hal terkait fenomenanya. Ia juga menyatakan bahwa orientasi
masa depan ini sangat erat kaitannya dengan harapan-harapan, tujuan, standar
serta rencana dan strategi yang dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan,
mimpi-mimpi dan cita-cita (Nurmi 1989). Selain itu digambarkan bahwa orientasi masa
depan ini adalah bagaimana seorang individu memandang dirinya sendiri di masa
mendatang, gambaran tersebut membantu individu dalam menempatkan dan
mengarahkan dirinya untuk mencapai apa yang ingin diraihnya (Nurmi 1989).
Menurut Nurmi (dalam Nurmi, et al. 2003) orientasi masa depan ini orientasinya
menekankan pada aspek pendidikan, pekerjaan dan pernikahan. Mengacu pada
pendapat Nurmi tersebut, pelatihan dalam rangka pengabdian ini memfokuskan
pengembangan orientasi masa depan remaja pada bidang pekerjaan.
Sementara berkaitan dengan aspek kognitif, orientasi
masa depan merupakan proses antisipasi individu terhadap masa depannya. Dalam
hal ini ada individu yang menggambarkan dirinya lebih rumit, lebih sederhana,
lebih atau kurang, realistik dan tepat. Sehingga akan terlihat besar kecilnya
kontrol yang dimiliki individu atas masa depannya sendiri. Individu akan
diketahui apakah ia berorientasi masa depannya lebih disebabkan oleh
faktor-faktor luar atau faktor-faktor dari dalam individu itu sendiri.
Proses pembentukan orientasi masa depan dijelaskan
melalui tiga tahap yang berinteraksi dengan skemata yang dihasilkan individu.
Ketiga tahap tersebut antara lain motivasi, perencanaan dan evaluasi. Motivasi
mencakup apa yang menjadi minat individu di masa depan. Perencanaan adalah
bagaimana individu merealisasikan minat mereka. Sementara evaluasi meliputi
penilaian terhadap sejumlah minat yang diharapkan dapat terwujud.
Mengacu pada tiga proses pembentukan orientasi masa
depan, pelatihan orientasi masa depan ini menggunakan pendekatan Experiential
Learning. Adapun materi pelatihan terdiri dari tiga materi utama meliputi :
perencanaan, komitmen dan menumbuhkan kepercayaan diri yang diarahkan untuk
mengeksplorasi tiga dimensi (tahapan) orientasi masa depan yaitu motivasi,
perencanaan dan evaluasi diri dalam penyusunan orientasi masa depan.
Penggunaan pendekatan experiential learning dinilai
lebih tepat mengingat usia subyek penelitian yang berada pada fase remaja.
Perkembangan kognitif pada fase ini memungkinkan mereka berpikir konseptual dan
mampu menemukan sendiri sejumlah aspek yang dipelajari dari materi yang
digunakan. Pendekatan experiential learning akan memberikan pengalaman langsung
melalui sejumlah simulasi mengenai orientasi masa depan dalam bentuk permainan.
Subjek penelitian akan merasakan secara langsung kesulitan, tantangan,
kegagalan dan keberhasilan dalam pelaksanaan sejumlah tugas (Ancok, 2002).
Penggunaan pendekatan experiential learning
berimplikasi pada penggunaan metode dalam kegiatan pelatihan ini yang
disesuaikan dengan tujuan dari setiap materi yang disampaikan. Untuk mencapai
tujuan pelatihan yaitu penyusunan orientasi masa depan, diberikan variasi
metode penyampaian materi, diantaranya diskusi, permainan dan pemberian tugas
individual selama dua pekan. Harapannya melalui metode diskusi dan permainan
akan memudahkan pemahaman peserta peserta terhadap materi yang disajikan
melalui pengalaman dan penghayatan langsung terkait orientasi masa depan.
Dalam upaya menyiapkan peserta kepada materi pelatihan,
mengawali kegiatan pelatihan posisi tempat duduk peserta membentuk huruf”U”
dengan harapan memudahkan interaksi fasilitator dan peserta. Penyampaian materi
oleh fasilitator dibantu media multimedia dan penayangan video tentang
cita-cita seorang anak usia balita. Peserta dibagi menjadi 8 kelompok dan
selama pemaparan materi setiap peserta diminta menyimak. Setelah pemaparan
selesai, setiap kelompok diminta mempresentasikan kesimpulan yang mereka pahami
dari pemaparan yang sudah diberikan fasilitator. Penggunaan multimedia seperti
tayangan video tentang cita-cita seorang anak usia balita diharapkan membantu
peserta untuk memahami bahwa identifikasi pekerjaan yang dicita-citakan
individu pada dasarnya sudah berjalan sejak usia dini.
Untuk mengembangkan kemampuan evaluasi dalam
penyusunan orientasi masa depan, diberikan permainan Bola Pingpong dengan
harapan peserta mengenali kekuatan dan kelemahan diri. Pemahaman tentang
kekuatan dan kelemahan kecakapan diri akan membantu peserta untuk mengevaluasi
perencanaan masa depannya. Melalui permainan ini peserta diharapkan mempu
memutuskan target yang dipilih berdasarkan pemahaman tentang kekuatan dan
kelemahan dirinya dan belajar membuat keputusan berdasarkan pemikiran yang
rasional. Proses debriefing dan penarikan kesimpulan setelah permainan berakhir
diharapkan mampu memberikan insight kepada peserta bahwa makna dari permainan
ini dapat diterapkan dalam menghadapi situasi lain khususnya berkaitan dengan
evaluasi dan perencaan masa depan bidang pekerjaan yang dicita-citakan
masing-masing peserta.
Hasil analisis desktriptif menunjukkan adanya
peningkatan skor kemampuan menyusun orientasi masa depan subyek penelitian
sebelum dan sesudah pelatihan. Demikian pula hasil analisis statitik
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pelatihan terhadap kemampuan orientasi masa
depan peserta. Namun mengingat pada kegiatan ini tidak
menyertakan kelompok kontrol, maka kita tidak bisa
mengatakan bahwa perubahan yang terjadi pada peserta seratus persen (100%)
sebagai akibat proses kegiatan pelatihan ini.
Meskipun demikian dengan mengikuti pelatihan ini
subyek diharapkan mengetahui hal-hal yang harus mereka persiapkan untuk
menghadapi masa depan. Setidaknya subyek memiliki pengetahuan dan keterampilan
untuk mencapai pekerjaan yang dicita-citakannya. Subyek diharapkan dapat
menyusun strategi untuk mencapai harapan akan pekerjaan di masa yang akan
datang dengan memperhatikan peluang-peluang yang ada dan kemampuan yang
dimilikinya.
4. Perkembangan
Kognisi Sosial
Menurut Dacey & Kenny (1997) yang dimaksud
dengan kognisi sosial adalah kemampuan untuk berfikir secara kritis mengenai
isu – isu dalam hubungan interpersonal, yang berkembang sejalan dengan usia dan
pengalaman, serta berguna untuk memahami orang lain dan menentukan bagaimana melakukan
interaksi dengan mereka.
5. Perkembangan
Penalaran Moral
Tahapan
perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh
Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of
Chaniago berdasarkan
teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan
kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi
doktornya pada tahun 1958 yang menjadi
awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari
Kohlberg.
Teori
ini berpandangan
bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis. mempunyai enam
tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari
keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas
berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini,
dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan
dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan
implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral
dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan
menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan
moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon
yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut
dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan
pasca-konvensional Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif;
setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap
dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya.
Tahapan-tahapan
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg
dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan
pasca-konvensional. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu ,
adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun
demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang
waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap
memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam,
dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
Tingkat 1
(Pra-Konvensional)
1. Orientasi
kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi
minat pribadi
( Apa
untungnya buat saya?)
Tingkat 2
(Konvensional)
3. Orientasi
keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap
anak baik)
4. Orientasi
otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas
hukum dan aturan)
Tingkat 3
(Pasca-Konvensional)
5. Orientasi
kontrak sosial
6. Prinsip
etika universal
( Principled
conscience)
Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya
ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran
dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai
moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat
pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan
murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan
diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri.
Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang
melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah
tindakan itu.Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain
berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoritisme.
Tahap
dua menempati
posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan
apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian
pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga
berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan
akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak
didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan
perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan
kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani
kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia
dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja
atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan
dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat
konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap
tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial.
Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain
karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi
harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut.
Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi
konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal
seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk
mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang
stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan
dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik…'.
Dalam tahap
empat, adalah penting untuk mematuhi hukum,keputusan dan konvensi sosial karena berguna
dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat
lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap
tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama
sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus
fundametalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga
akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan
aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga
celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang
buruk dari yang baik.
Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai
tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral.
Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat
kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum
perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat
tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap Lima, individu-individu dipandang sebagai
memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting
bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak
dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan
atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut -
'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan
itu, hukum dilihat sebagai kontak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan
yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi
terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal
tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas , dan kompromi . Dalam hal ini, pemerintahan yang Demokratis tampak
berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap
enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan
etika prinsip universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan , dan
komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi
hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting
untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris
dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat
imperatif kategori dari immanuel kant). Hal ini bisa dilakukan dengan
membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang
juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihaveil of ignorance
dari John Rawls). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara
ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang
bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi,
sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin
bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang
menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa
mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.
6.Perkembangan
Pemahaman Agama Perkembangan Keagamaan Remaja.
Latar
belakang kehidupan keagamaan remaja dan ajaran agamanya berkenaan dengan
hakekat dan nasib manusia, memainkan peranan penting dalam menentukan
konsepsinya tentang apa dan siapa dia, dan akan menjadi apa dia. Agama, seperti
yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terdiri atas suatu sistem
tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap danpraktek-praktek yang kita anut,
pada umumnya berpusat sekitar pemujaan. Dari sudut pandangan individu yang
beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya
bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan
kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk
menopang harapan-harapannya. Dari sudut pandangan social, seseorang berusaha
melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain,
mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan orang lain dalam ketaatan yang
umum terhadapnya.bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah
hidupnya. Penemuan lain menunjukkan, bahwa sekalipun pada masa remaja banyak
mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka, namun pada akhirnya
kembali lagi kepada kepercayaan tersebut. Banyak orang yang pada usia dua
puluhan dan awal tiga puluhan, tatkala mereka sudah menjadi orang tua, kembali
melakukan praktek-praktek yang sebelumnya mereka abaikan (Bossard dan Boll,
1943). Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral.
Bahkan, sebagaiman dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983), agama
memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu
membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bias
memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama
memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari
eksistensi dirinya. Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan
agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa
awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan
dibayangkan sebagai person yang berada diawan, maka pada masa remajamereka
mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan
eksistensi.
Perkembangan
pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan
kognitifnya. Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah
diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka
mengalami kemajuann dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan
tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh
perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini.
Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang perkembangan pemahaman
agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif
Piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap
3, yaitu formal operational religious thought, di mana remaja memperlihatkann
pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotesis. Peneliti lain juga menemukan
perubahan perkembangan yang sama, pada anak-anak dan remaja. Oser &
Gmunder, 1991 (dalam Santrock, 1998) misalnya menemukan bahwa remaja usia
sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebasan,
pemahaman, dan pengharapan konsep-konsep abstrak ketika membuat pertimbangan
tentang agama.
James Fowler
(1976) mengajukan pandangan lain dalam perkembangan konsep religius.
Indiduating-reflexive faith adalah tahap yang dikemukakan Fawler, muncul pada
masa remaja akhir yang merupakan masa yang penting dalam perkembangan identitas
keagamaan. Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, individu memiliki tanggung
jawab penuh atas keyakinan religius mereka. Sebelumnya mereka mengandalkan
semuanya pada keyakinan orang tuanya. Salah satu area dari pengaruh agama
terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan seksual. Walaupun keanakaragaman
dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk menentukan karakteristik
doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak mendukung seks pra-nikah. Oleh
karena itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih
penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah
laku seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat
mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks. Remaja masa kini
menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam
kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan dengan membahas masalah
agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi,
mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama. Sejalan dengan
perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan, yang erat
hubungannya dengan perkembangan intelektual disamping emosional dan volisional
(konatif) mengalami perkembangan.
Para ahli umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch,
William James) sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan
keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga tahapan yang secara kulitatif menunjukkan
karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai
berikut: 1) Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub
tahapan sebagai berikut:
a) Sikap
negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya
yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura)
yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
b) Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi
kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran
atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
c)
Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak
yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya
dengan kepatuhan.
2) Masa remaja akhir yang ditandai antara lain
oleh hal-hal berikyut ini:
a) Sikap
kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan
intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
b) Pandangan
dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan
dipilihnya.
c)
Penghayatan rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi dan
merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan
manusia penganutnya, yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa
terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi
seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini. Menurut Wagner
(1970) banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari rangsangan
emosial dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan
pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka
meragukan agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis, melainkan
karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan
mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.
Pengertian psikologi perkembangan dan makna remaja
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan kognitif pada peserta
didik merupakan suatu pembahasan yang cukup penting bagi pengajar maupun orang
tua. Perkembangan kognitif pada anak merupakan kemampuan anak untuk berpikir
lebih kompleks serta kemampuan melakukan penalaran dan pemecahan masalah yang
termasuk dalam proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu
mempelajari dan memikirkan lingkungannya.
Dalam memahami perkembangan
kognitif, kita harus mengetahui proses perkembangan kognitif tersebut. Selain
itu karakteristik perkembangan kognitif peserta didik juga harus dapat dipahami
semua pihak. Dengan pemahaman pada karakteristik perkembangan peserta didik,
pengajar dan orang tua dapat mengetahui sebatas apa perkembangan yang dimiliki
anak didiknya sesuai dengan usia mereka masing-masing, sehingga pengajar dan
orang tua dapat menerapkan ilmu yang sesuai dengan kemampuan kognitif
masing-masing anak didik.
Meskipun banyak hal dan kendala dalam
perkembangan kognitif remaja, setidaknya kita sebagai calon pengajar maupun
sebagai orang tua harus memahami tentang perkembangan kognitif dan tahap-tahap
karakteristik perkembangan kognitif agar kita mampu mengetahui perkembangan
kemampuan kognitif masing-masing anak.
Daftar Pustaka
Sutirna.2013. Perkembangan dan Pertumbuhan Peserta Didik.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
file.upi.edu/Direktori/.../ASPEK-ASPEK_PERKEMBANGAN.pdf (di unduh 19 april 2015)
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Eva
Imania Eliasa, S.Pd., M.Pd/Microsoft PowerPoint - TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA
12-17 TAHUN.pdf
http://hapidzcs.blogspot.com/2012/05/perkembangan-agama-dan-kejiwaan-pada.html