RANGKUMAN SEJARAH SASTRA
ANGKATAN 45
Diajukan untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Sejarah Sastra
Dosen pengampu :
Dra.Widowati.,M.Hum.

Disusun
Oleh :
Nama : Hartutik Sulistyo Wati
NIM : 2014001099
PROGAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAN
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2014/2015
Sastra Angkatan 45
Latar
belakang sastra angkatan 45
Pada
tanggal 9 maret 1942 Guberrnur Jendral Hindia Belanda Tjarda Slarkenbor
Slachouwer dan panglima angkatan bersenjatanya, jendral Ter Poorten, menyerah
kepada panglima bala tentara jepang, Immamura, di kalijati, Subang, Jawa Barat.
Maka berakhirlah masa penjajahan Belanda di Indonesia, Tahun 1942-1945 Jepang
menjajah Indonesia.
Tahun
1942 itu merupakan tahun yang sangat penting dalam sejarah kebudayaan
Indonesia, termasuk kesusasteraan . sejak 1942 terjadilah perubahan-perubahan
besar dan mendasar dalam kemasyarakatan , kebudayaan dan kesenian. Revolusi
kebudayaan dimulai tahun itu. Begitu Jepang menguasai Indonesia maka segala hal
yang mengingatkan kebudayaan Barat harus dilenyapkan. Bahasa Belanda tidak
boleh dipergunakan lagi, sebagai gantinya dipakai bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi di kantor-kantor dan surat-surat keputusan. Banyak orang Indonesia
menduduki jabatan yang cukup tinggi pada zaman Belanda yang tidak mungkin
dimilikinya. Pada masa itu muncul generasi baru dalam sastra para pemuda
berusia 20-30 tahun, para pemuda yang pertama kali menulis pada tahun 1940-an
ini rata-rata dilahirkan pada tahun 1920, yang muncul dalam angkatan baru ini
adalah:
·
Chairil Anwar : menurut penelitian H.B.
Jassin, selama kegiatanya dari tahun 1942 sampai tahun 1949 telah menghasilkan
94 tulisan, yang terdiri atas 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi
terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
·
Asrul sani :
·
Bakri Siregar
·
Balfas
·
Idrus
·
Umar Ismail
·
Anas Makruf
·
Amal Hamzah
·
Rivai Apin
Para
sastrawan ini muncul dengan pengalaman zamanya yang penuh krisis, keras dan
tantangan-tantangan, berbeda dengan angkatan sebelumnya yang meskipun dalam suasana
tertekan tetapi relatif lebih tenang (Pax Neerlandica)
Perbandingan dengan
Pujangga Baru
Kritikus
H.B.Jassin telah membuat perbedaan-perbedaan antara angkatan sastra pujangga
baru dan Sastra Angkatan 45 secara terperinci.
1. Sastra
Pujangga Baru terlalu retorik, yakni menenekankan pentingnya persamaan bunyi,
irama, dan pembakuan bentuk ; sedang Angkatan 45 lebih mengutamakan isi,
kepaduan bahasa dan pikiran . dengam memasukan kata-kata kasar dan keras, namun
tepat dan berfungsi, Angkatan 45 jelas menolak konsep “bahasa nan indah” ala
Romatik Pujangga Baru.
2. Perasaan
berlebih-lebihanseringkali menghinggapi sastra Pujangga Baru. Gaya superlatif
seringkali kita jumpai. Ini disebabkan segalanya masih dipandang sebagai
cita-cita idealisme. Tetapi Angkatan 45 bertolah dari kenyataan, pengalaman.
Nasionalisme dan Negara Kebangsaan bukan lagi idaman sehingga dapat dihayalkan
seindah-indahnya, tetapi perasaan-perasaan kebangsaan telah dikoreksi oleh
pengalaman. Angkatan 45 kritis terhadap segala hal, watak manusia bukan hanya
dilihat dari segi baiknya secara idealis, tetapi dilihat sampai ke sumsum,
kekuatan dan kelemahanya. Harapan-harapan yang mengecewakan dalam zaman Jepang
memberikan pengalaman dan penderitaan pada Angkatan 45 sehingga sikap jiwa
menjadi sinis dan skeplis. Kepalsuan lekas mereka bungkusnya, dan hakikat yang
mereka cari, intisari dan pengalaman yang mereka cari dan bukan samar-samar
romantisme yang mengawang indah.
3. Cakrwala
pengaruh mereka cari bukan sebatas sastra Belanda yang dipelajari di sekolah-sekolah
menengah. Tetapi lebih luas ke sastra-sastra dunia yang lain. Kesungguhan
mempelajari sastra dunia ini didorong oleh keinginan hendak menyempurnakan diri
dalam teknik dan isi kesusastraan.
Kesusatraan dalam bahasa Inggris menjadi bacaan utama, menggantikan
kesusastraan dalam bahasa Belanda yang menjadi bacaan utama kaum Pujangga Baru.
a. Sastra
Majalah
Seperti
Pujangga Baru, sastra Angkatan 45 berkembang melalui majalah-majalah. Setelah
Revolusi, para sastrawan banyak menulis dalam majalah-majalah umum yang memuat
ruangan khusus buat kesusastraan. Majalah-majalah semacam itu berkembang biak
melebihi zaman Pujangga Baru, yakni :
Panca
Raya(1945-1947), Pembangunan(1946-1947), Pembaharuan (1946-1947), Nusantara (
1946-1947), Gema Suasana (1948-1950), Siasat dengan lampiran kebudayaanya yang
terkenal bernama “Gelanggang”(1946-1948). Mimbar Indonesia dengan lampiran
kebudayaan bernama “Zenith” (1947-1959), Indonesia(1949-1960), Pujangga
Baru(diterbitkan kembali tahun 1948, mulai 1954 diubah menjadi konfrontasi) ,
Arena ( di Yogya, 1946-1948), Seniman (di Solo, 1947-1948).
Terlihat
bahwa sekitar tahun 1946-1954 terdapat begitu banyak majalah yang memuat
karangan-karangan sastra. Sekitar masa itulah sastra Angkatan 45 berkembang.
Hasilnya kebanyakan berupa esei, cerita pendek, puisi, terjemahan, drama
pendek.
Sedangkan
bentuk Sastra yang lebih panjang diterbitkan lewat penerbit Balai Pustaka,
Pembangunan, Gapura, Djambatan dan sebagainya.
Surat Kepercayaan
Gelanggang
Surat
kepercayaan gelanggang merupakan sikap dan pendirian Angkatan 45, walaupun
pernyataan itu dibuat pada tanggal 18 Februari 1950 dan baru disiarkan dalam
majalah Siasat pimpinan Rosihan Anwar pada tanggal 22 oktober 1950.
Surat Kepercayaan Gelanggang adalah
pernyataan sikap perkumpulan “ Gelanggang Seniman Merdeka”, suatu perkumpulan
yang didirikan pada tahun 1947 yang didalamnya selain para pengarang juga
berkumpul pelukis-pelukis, musikus dan seniman lain. Karena pengarang Angkatan
45 berkumpul bergerak dalam kelompok ini maka Surat Kepercayaan Gelanggang
dipandang sebagai pernyataan sikap dan pendirian Angkatan 45 atau sebagai
perwujudan konsepsi angkatan tersebut.
Isi
Pokok Surat Kepercayaan Gelanggang tersebut ialah :
1. Angkatan
45 memandang dirinya sebagai ahli waris kebudayaan Dunia dan akan
di
teruskan kebudayaan itu menurut cara mereka sendiri
2. Keindonesiaan
mereka hanya dapat dikenal dari wujud pernyataan hati dan pikiran mereka, bukan
dari bentuk-bentuk lahirnya.
3. Kebudayaan
Indonesia Baru tidak semata-mata berdasarkan kebudayaan Indonesia lama, tetapi
ditetapkan dari ramuan hasil kebudayaan yang datang dari segenap penjuru dunia,
yang kemudian dilontarkan kembali dalam wujud ciptaan menurut kehendak mereka.
4. Revolusi
bagi mereka adalah penempatan nilai-nilai baru diatas nilai-nilai lama yang
sudah usang yang harus dihancurkan.
5. Mereka
berpendapat bahwa antara masyarakat dan seniman terjadi saling memengaruhi
Ekspresionisme
Kemerdekaan
yang diperoleh secara di luar dugaan mengakibatkan berkembanganya tuntutan
untuk kebebasan individu. Hak untuk menyatakan pendapat, pikiran dan perasaan
sendiri dengan cara yang semerdka-merdekanya, dengan cara yang sangat pribadi
diruntut dan dilaksanakan.
Maka berkembanglah ekspresionisme dalam
sastra Angkatan 45. Ekspresionisme sebenarnya sebuah aliran yang sudah
berekmbang lama di Eropa pada penghujung abad 19. Aliran Ekspresionisme tibul
sebagai reaksi terhadap aliran Imppresionisme. Dalam sastra Pujangga Baru
bersifat impresionisme. Dan Angkatan 45 memberi reaksi dengan
Ekspresionismenya. Pada sajak-sajak Pujangga Baru, para penyairnya tergerak
hatinya kalau melihat sesuatu di luar dirinya, misalnya alam . sanusi Pane
melihat Candi , kemudian memperoleh kesan sunyi yang agung, dan kesan itulah
yang kemudian dituangkanya dalam sajaknya.”Candi Mendut ” Proses terjadinya
penulisan sajak Impresionis dapat digambarkan sebagai berikut:
alam---penyair—sajak
Tetapi
dalam Ekspresionis tidak ditentukan oleh Alam , justru penyairlah yang
menetukan gambaran Alam Alam dapat dilihat oleh penyair dengan caranya sendiri.
Kritikus
yang pertama kali dapat memahami sajak-sajak Chairil Anwar ialah H.B.Jassin.
kritikus ini pulalah yang membela dan menjelaskan karya-karya Chairil Anwar
yang bersifat ekspresionis itu. Kebetulan sekitar tahun 1945, H.B.Jassin
sendiri sedang mempelajari aliran Ekspresionisme ini. Ekspresionis bertujuan mendekati sumber
pikiran dan kesadaran, pikiran, perasaan dan kesadaran yang paling asli harus
dilontarkan keluar sehingga nampak keaslianya dan kesegaranya. Keaslian itu
belum terganggu oleh aturan-aturan dan tata sopan di luar seniman, dengan
sendirinya akan tergambar semangat perseoranagn, yang tidak ada hubunganya
dengan dunia luar. Masyarakat, tidak harus setuju atau dihasilkan sastrawan-ekspresionis.
Pandangan pribadi yang asli, murni dan segar inilah yang diungkapkan sastrawan
ekspresionis.
Penamaan
Nama
Angkatan 45 baru diberikan pada tahun 1949, oleh Rosihan Anwar tetapi banyak
para sastrawan yang termasuk angkatan itu tidak menyetujui nama Angkatan
tersebut. Memang tahun 1945 adalah tahun Proklamasi kemerdekaan yang sebenarnya
membanggakan. Tetapi kaum sastrawan 45 juga melihat bahwa tahun itu merupakan
tahun dengan kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan, seperti culik menculik
antar pemimpin, korupsi, agitasi, saling cakar-cakaran, pembunuhan dan
sebagainya.
Keberatan
lain dari sastrawan 45 adalah bahwa mereka merasa tidak takut dengan perbuatan
. mereka merasa kurang pantas membonceng nama mentereng Angkatan 45 yang heroik
itu. Namun ini dengan sendirinya dapat dibantah. Sebab berjuang tidak selalu
memanggul senjata . banyak dari sajak-sajak Chairil Anwar misalnya: yang dapat
mengobarkan semangat berjuang dan berkorban seperti ",”Diponegoro”,
“Krawang-Bekasi”
Sebelum
nama Anglkatan 45 ini menjadi populer dan resmi dipakai untuk menamai suatu
angkatan sastra baru, terdapat beberapa nama yang diajukan, Nama-nama itu adala
: angkatan Perang, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan sesudah Perang, Angkatan
sesudah Pujangga Baru, Angkatan Pembebasan, dan Generasi Gelanggang ( menurut
nama ruang budaya yang diasuh Chairil Anwar dan kawan-kawanya).
Jadi
nama Angkatan 45 sebenarnya pernah dinamai dengan nama majalah yang mereka
asuh, yakni Gelanggang hanya penamaan ini kalah populer dengan Angkatan 45.
Dengan demikian setiap generasi penulis cenderung untuk dinmai dengan majalah
atau penerbitan yang mewadahi cita
sastra mereka. Dengan demikian kita mengenal generasi Balai Pustaka, generasi
Pujangga Baru, generasi Kisah Satra n generasi Horison.
Tokoh-tokoh utama
empat
tokoh utam yang sering dianggap sebagai pelopor Angkatan 45 yakni: Chairil
Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, dan Idrus. Dari keempat tokoh tersebut Chairil
Anwar merupakan tokoh sentral, Chairil Anwar boleh disebut sebagai Bapak
Revolusi dalam sastra Indonesia modern. Tentang tkoh ini akan dibicarakan
tersendiri namun sebagai seniman, keempat tokoh tersebut memiliki ciri-ciri
kepribadian sendiri yang berbeda satu sama lain. Bahkan beberapa tokoh mungkin
bertentangan, hal ini wajar terdapat dalam satu generasi sastra. Meskipun
mereka muncul dalam masa yang sama, disebabkan oleh pengaruh situasi yang sama,
tetapi mereka selalu digerakan oleh idealisme yang sama tetapi mereka selalu
menempuh jalanya sendiri-sendiri sebagai individu. Justru ciri kesenimanan seserang ditentukan
oleh harkat pribadinya ini. Kalau ia sama dengan yang lain, ia tidak usah
dicatat sebagai pribadi seniman.
Chairil
Anwar dikenal sebagai pribadi yang individualis dan anarkis. Asrul Sani
berpribadi aristrokat dan moralis. Kedua tokoh ini secara pribadi saja sudah
sangat bertentangan. Chairil tokoh tidak pedulian, seenaknya sendiri,
mengobrak-abrik sopan santun orang beradat dana kadang “jahat” (menipu dan
mencuri), sedang Asrul sani manusia yang terhormat banyak membaca dalam kamar
yang rapih dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, mencari kemuliaan manusia.
Sedang idrus tokoh yang penuh sinisme, ia mengejek kelemahan-kelemahan manusia
dan bangsanya. Rivai Apin dikenal sebagai seorang nihilis, seorang yang belum
menemukan nilai hidup-hidupnya, kelak Rivai Apn akan memnemukanya dalam
pandangan sosialisme. Pribadi-pribadi tadi menggekspresikan dirinya dalam
karya-karya sastra mereka, dan gaya pengungkapan sastra. Keempatnya memiliki
kesamaan yakni ekspresionisme. Adanya kesamaan sikap ini tercermin juga dalam
kritik mereka terhadap sastra Pujangga Baru.
Kelompok Angkatan 45
Angkatan
45 bukan hanya terdiri dari kaum sastrawan belaka, sejak semula Chairil Anwar
dan kawan-kawanya sangat erat berhubungan dengan kaum pelukis, dalam kelompok
angkatan ini terdapat pula beberapa pelukis yang sepaham dengan Revolusi dalam
bidang sastra. Mereka ini adalah S.Sudjojono,Affandi, Henk Ngantung, Mochtar
Apin dan Baharudin. Pada pelukis-pelukis ini berkembang pula ekspresionisme
dalam seni lukis.
Perhatian
kaum sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dalam sastra, tetapi jiga meluas dalam
bidang seni yang lain. Asrul Sani selain seorang penyair dan eseis dan penulis
cerita pendek, juga mempunyai perhatian tehadap bidang teater, bahkan kemudian
banyak mengembangkan dirinya dalam bidang teater dan film. Begitu juga Sitor
Situmorang selain penyair, pengarang cerita pendek , eseis dan penulis drama,
juga seorang tokoh penting dalam kritik film. Trisno Sumardjo disamping seorang
penyair, penulis cerita pendek, eseis, penulis drama, penerjemah, juga pelukis
dan organisator kebudayaan. Perhatian luas dari para penulis Angakatan 45 ini
mengundang banyak seniman cabang lain yamg tidak ragu-ragu menulis dalam media
Angkatan 45. Misalnya Para seniman musik seperti Binsar Sitompul dan Amir.
Pasaribu banya menulis partitur musik dan menulis esei serta kritik musik dalam
media 45. Boleh dikatakan bahwa pada Angkatan 45 kegiatan seni secara
menyeluruh merupakan satu kegiatan keluarga besar, saling bekerja sama, saling
memahami dan saling merasa selalu angkatan seniman masih terjalin sangat erat
pada masa-masa itu. Karya-karya sastra masih diterbitkan bersama dengan sketsa
para pelukis, partilur musik, esei musik, seni lukis, drama dan tari. Hal ini
dapat memberi jaminan bahwa para sastrawan memiliki wawasan luar dalam bidang
seni dan budaya umumnya.
Lembaga
Kebudayaan Rakyat
Semangat
membangun kebudayaaan Indonesia yang tertuang dalam Surat Kepercayaa Gelanggang
ternyata terdesak oleh perubahan yang deras di bidang sosial, budaya dan
politik. Pengakuan KRI pada akhir tahun 1948 tidak dengan sendirinya
menyelesaian berbagai krisis kehidupan bangsa yeng memang sedang bergolak.
Penerapan demokrasi Liberal dengan sistem kabinet parlementer ternyata tidak
membuahkan hasil yang membiarakan karena yang terjadi adalah krisis kabinet
dengan pergantian perdana menteri yang jarak waktunya pendek-pendek sehingga
tidak produktif di bidang Pemerintahan. Krisis itu kemudian diakhiri dengan
Dekrit Presiden 5 juli 1959 dengan prinsip kembali ke Undang- Undang Dasar
1945. Sementara itu, di bidang keamanan terjadi krisis kepercayaan sehingga
pecah pemberontakan bersenjata di beberapa daerah, seperti Maluku, Sulawesi
,Jawa Barat, dan Sumatera Barat. Di bidang sosial budaya dapat dibayangkan
terjadinya perubahan dan pergeseran nilai-nilai kehidupan yeng penuh gejolak.
Peristiwa yang penting yang sangat besar pengaruhnya terhadap dinamika kehidupan Sastra Indonesia
adalah berdirinya Lembaga Kebudayaan Rakyat(Lekra) pada 17 Agustus 1950 di
tangan tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia, yaitu D.N.Aidit, Njoto, M.S.Ashar.
dan A.S Dharta.
Dalam
Buku Pintar Sastra Indonesia(Eneste,2001b) tercatat data sejumlah pengarang
yang kemudian dikenal sebagai orang-orang Lekra yaitu:
1. Agam
Wispi
2. Dodong
Djiwapradja
3. Riyono
Pratikno
4. S.
Rukiah
5. Sobron
Aidit
Kini
nasib mereka memang sudah terlupakan karena tulisan mereka pun sulit dibaca
masyarakat umum setelah penerbitan kalangan Lekra dinyatakan terlarang pada
Akhir tahun 1965 akibat tragedi politik 30 September 1965. Akan tetapi hal itu
tidak menutup kemungkinan para peneliti dan kritikus untuk secara ilmiah membogkar
kembali khazanah pemikiran mereka demi kepentingan sejarah dan ilmu
pengetahuan, bahkan sekaligus sebagai pelajaran bagi generasi kemudian.
Majalah Kisah
Majalah
kisah menjadi penting dalam sejarah sastra Indonesia karena merupakan majalah
sastra yang pertama kali mengutamakan cerita pendek. Dewan redaksinya adalah
Sudjati S.A., HB.Jassin, M.Balfas, Idrus dan D.S. Moeljanto. Majalah itu dapat
bertahan hampir lima tahun, mulai juli 1953 hingga Maret 1957 dan berhasil
menjadi tolo ukur kepengarangan seseorang.
Semangatnya adalah memberikan bacaan yang baik kepada masyarakat ehingga
pengarang pun terdorong untuk mencipta karangan-karangan yang bermutu dengan
penuh tangggung jawab. Kalaupun majalah itu hanya bertahan selama 5 tahun
penyebabnya antara lain menjamurnya bacaan hiburan yang cenderung cabul dengan
akibat Kisah tidak dapat bersaing secara komersial. Akan tetapi dalam usia yang
relatif singkat itu Kisah telah melahirkan sejumlah pengarang seperti:
1. Nugroho
Notosusanto
2. A.A.
Navis
3. Trisnoyuwono
4. Soekanto.S.A
5. S.M.Ardan
6. Subagio
Sastrowardoyo
7. Ajip
Rosyidi
8. Toha
Mohtar
9. Nh.
Dini
10. Iwan
Simatupang
11. Motinggo
Busye
12. Kirdjomulyo
13. Bokor
Hutasuhut
14. Rendra
Tidak
lama juga terbit majalah prosa (1955), Seni(1955), Budaya(1953-1962).
Konfrontasi(19541961) dan Kompas (1951-1955). Semua itu mrupakan ajang
kreativitas para pengarang yang terus bermunculan, diantara mereka terbukti
menjadi pengarang-pengarang terkemuka pada belasan tahun kemudian, seperti A.A.
Navis,Ajip Rosyidi, Iwan Simatupang, Motingo Busye, Nh.dini, Sitor Situmorang,
Subagio Sastrowardoyo, dan Rendra.
Manifes Kebudayaan
Berbeda
dengan Lekra, manifes kebudayaan bukanlah sebuah organisasi kebudayaan.,
melainkan sebuah konsep atau pemikiran di bidang Kebudayaan seperti Surat
Kepercayaan Gelanggang. Kemunculanya tidak terkait dengan partai politik atau
ideologi tertentu tetapi merupaan reaksi terhadapa teror budaya yang pada waktu
itu dilancarkan oleh orang-orang Lekra. Prosesnya terkait dengan Perkembangan
politik yang berawal dari munculnya Konsepsi Presiden pada 21 Februari 1957
yang intinya menolak demokrasi Liberal dan menggantinya dengan demokrasi
terpimpin, membentuk kabinet gotong royong dan membentuk Dewan Nasional sebagai
Penasihat. Pncak pertahanan kosep itu adalah deklarasi Manifes Kebudayan pada
17 Agustus 1963 yang ditandatangani oleh H.B.Jassin,Trisno Sumardjo, Wiratmo
Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Moehamad,A. Bastari Asnin, Bur
Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja,
Sjahwil, M.Saribi, Poernawan Tjodronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen
S.Oemarjati.(Teeuw,1980:528). Sementara itu, dalam Prahara Budaya (1995:160)tidak tercantum nama Ekana Siswojo dan
Nashar.
Masalah
itu dapat dikaji lebih mendalam pada kesempatan lain, sedangkan dalam buku ini
yang diutamakn adalah semangat Manifes Kebudayaan
Daftar Pustaka
Sumarjo,Yakop.1992.Lintas Sastra Indonesia Modern.Bandung:Citra
Aditya Bakti.
Sarwadi.2004.Sejarah Sastra Indonesia Modern.Yogyakarta:Gama
Media.
Yudiono.2007.Pengantar Sejarah Sastra Indonesia.Jakarta:Grasindo.
0 komentar:
Posting Komentar