Selasa, 05 Mei 2015

rangkuman Sejarah Sastra angkatan 45



RANGKUMAN SEJARAH SASTRA
ANGKATAN 45
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Sastra
Dosen pengampu : Dra.Widowati.,M.Hum.


Disusun Oleh :
                                                      Nama : Hartutik Sulistyo Wati
                                                      NIM    : 2014001099



PROGAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAN KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2014/2015
Sastra Angkatan 45
Latar belakang sastra angkatan 45
Pada tanggal 9 maret 1942 Guberrnur Jendral Hindia Belanda Tjarda Slarkenbor Slachouwer dan panglima angkatan bersenjatanya, jendral Ter Poorten, menyerah kepada panglima bala tentara jepang, Immamura, di kalijati, Subang, Jawa Barat. Maka berakhirlah masa penjajahan Belanda di Indonesia, Tahun 1942-1945 Jepang menjajah Indonesia.
Tahun 1942 itu merupakan tahun yang sangat penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia, termasuk kesusasteraan . sejak 1942 terjadilah perubahan-perubahan besar dan mendasar dalam kemasyarakatan , kebudayaan dan kesenian. Revolusi kebudayaan dimulai tahun itu. Begitu Jepang menguasai Indonesia maka segala hal yang mengingatkan kebudayaan Barat harus dilenyapkan. Bahasa Belanda tidak boleh dipergunakan lagi, sebagai gantinya dipakai bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di kantor-kantor dan surat-surat keputusan. Banyak orang Indonesia menduduki jabatan yang cukup tinggi pada zaman Belanda yang tidak mungkin dimilikinya. Pada masa itu muncul generasi baru dalam sastra para pemuda berusia 20-30 tahun, para pemuda yang pertama kali menulis pada tahun 1940-an ini rata-rata dilahirkan pada tahun 1920, yang muncul dalam angkatan baru ini adalah:
·         Chairil Anwar : menurut penelitian H.B. Jassin, selama kegiatanya dari tahun 1942 sampai tahun 1949 telah menghasilkan 94 tulisan, yang terdiri atas 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
·         Asrul sani      :
·         Bakri Siregar
·         Balfas
·         Idrus
·         Umar Ismail
·         Anas Makruf
·         Amal Hamzah
·         Rivai Apin
Para sastrawan ini muncul dengan pengalaman zamanya yang penuh krisis, keras dan tantangan-tantangan, berbeda dengan angkatan sebelumnya yang meskipun dalam suasana tertekan tetapi relatif lebih tenang (Pax Neerlandica)
Perbandingan dengan Pujangga Baru
Kritikus H.B.Jassin telah membuat perbedaan-perbedaan antara angkatan sastra pujangga baru dan Sastra Angkatan 45 secara terperinci.
1.      Sastra Pujangga Baru terlalu retorik, yakni menenekankan pentingnya persamaan bunyi, irama, dan pembakuan bentuk ; sedang Angkatan 45 lebih mengutamakan isi, kepaduan bahasa dan pikiran . dengam memasukan kata-kata kasar dan keras, namun tepat dan berfungsi, Angkatan 45 jelas menolak konsep “bahasa nan indah” ala Romatik Pujangga Baru.
2.      Perasaan berlebih-lebihanseringkali menghinggapi sastra Pujangga Baru. Gaya superlatif seringkali kita jumpai. Ini disebabkan segalanya masih dipandang sebagai cita-cita idealisme. Tetapi Angkatan 45 bertolah dari kenyataan, pengalaman. Nasionalisme dan Negara Kebangsaan bukan lagi idaman sehingga dapat dihayalkan seindah-indahnya, tetapi perasaan-perasaan kebangsaan telah dikoreksi oleh pengalaman. Angkatan 45 kritis terhadap segala hal, watak manusia bukan hanya dilihat dari segi baiknya secara idealis, tetapi dilihat sampai ke sumsum, kekuatan dan kelemahanya. Harapan-harapan yang mengecewakan dalam zaman Jepang memberikan pengalaman dan penderitaan pada Angkatan 45 sehingga sikap jiwa menjadi sinis dan skeplis. Kepalsuan lekas mereka bungkusnya, dan hakikat yang mereka cari, intisari dan pengalaman yang mereka cari dan bukan samar-samar romantisme yang mengawang indah.
3.      Cakrwala pengaruh mereka cari bukan sebatas sastra Belanda yang dipelajari di sekolah-sekolah menengah. Tetapi lebih luas ke sastra-sastra dunia yang lain. Kesungguhan mempelajari sastra dunia ini didorong oleh keinginan hendak menyempurnakan diri dalam teknik dan isi kesusastraan.  Kesusatraan dalam bahasa Inggris menjadi bacaan utama, menggantikan kesusastraan dalam bahasa Belanda yang menjadi bacaan utama kaum Pujangga Baru.
a.       Sastra Majalah
Seperti Pujangga Baru, sastra Angkatan 45 berkembang melalui majalah-majalah. Setelah Revolusi, para sastrawan banyak menulis dalam majalah-majalah umum yang memuat ruangan khusus buat kesusastraan. Majalah-majalah semacam itu berkembang biak melebihi zaman Pujangga Baru, yakni :
Panca Raya(1945-1947), Pembangunan(1946-1947), Pembaharuan (1946-1947), Nusantara ( 1946-1947), Gema Suasana (1948-1950), Siasat dengan lampiran kebudayaanya yang terkenal bernama “Gelanggang”(1946-1948). Mimbar Indonesia dengan lampiran kebudayaan bernama “Zenith” (1947-1959), Indonesia(1949-1960), Pujangga Baru(diterbitkan kembali tahun 1948, mulai 1954 diubah menjadi konfrontasi) , Arena ( di Yogya, 1946-1948), Seniman (di Solo, 1947-1948).
Terlihat bahwa sekitar tahun 1946-1954 terdapat begitu banyak majalah yang memuat karangan-karangan sastra. Sekitar masa itulah sastra Angkatan 45 berkembang. Hasilnya kebanyakan berupa esei, cerita pendek, puisi, terjemahan, drama pendek.
Sedangkan bentuk Sastra yang lebih panjang diterbitkan lewat penerbit Balai Pustaka, Pembangunan, Gapura, Djambatan dan sebagainya.
                        Surat Kepercayaan Gelanggang
Surat kepercayaan gelanggang merupakan sikap dan pendirian Angkatan 45, walaupun pernyataan itu dibuat pada tanggal 18 Februari 1950 dan baru disiarkan dalam majalah Siasat pimpinan Rosihan Anwar pada tanggal 22 oktober 1950.
        Surat Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan sikap perkumpulan “ Gelanggang Seniman Merdeka”, suatu perkumpulan yang didirikan pada tahun 1947 yang didalamnya selain para pengarang juga berkumpul pelukis-pelukis, musikus dan seniman lain. Karena pengarang Angkatan 45 berkumpul bergerak dalam kelompok ini maka Surat Kepercayaan Gelanggang dipandang sebagai pernyataan sikap dan pendirian Angkatan 45 atau sebagai perwujudan konsepsi angkatan tersebut.
Isi Pokok Surat Kepercayaan Gelanggang tersebut ialah :
1.      Angkatan 45 memandang dirinya sebagai ahli waris kebudayaan Dunia dan akan
di teruskan kebudayaan itu menurut cara mereka sendiri
2.      Keindonesiaan mereka hanya dapat dikenal dari wujud pernyataan hati dan pikiran mereka, bukan dari bentuk-bentuk lahirnya.
3.      Kebudayaan Indonesia Baru tidak semata-mata berdasarkan kebudayaan Indonesia lama, tetapi ditetapkan dari ramuan hasil kebudayaan yang datang dari segenap penjuru dunia, yang kemudian dilontarkan kembali dalam wujud ciptaan menurut kehendak mereka.
4.      Revolusi bagi mereka adalah penempatan nilai-nilai baru diatas nilai-nilai lama yang sudah usang yang harus dihancurkan.
5.      Mereka berpendapat bahwa antara masyarakat dan seniman terjadi saling memengaruhi

Ekspresionisme
Kemerdekaan yang diperoleh secara di luar dugaan mengakibatkan berkembanganya tuntutan untuk kebebasan individu. Hak untuk menyatakan pendapat, pikiran dan perasaan sendiri dengan cara yang semerdka-merdekanya, dengan cara yang sangat pribadi diruntut dan dilaksanakan.
    Maka berkembanglah ekspresionisme dalam sastra Angkatan 45. Ekspresionisme sebenarnya sebuah aliran yang sudah berekmbang lama di Eropa pada penghujung abad 19. Aliran Ekspresionisme tibul sebagai reaksi terhadap aliran Imppresionisme. Dalam sastra Pujangga Baru bersifat impresionisme. Dan Angkatan 45 memberi reaksi dengan Ekspresionismenya. Pada sajak-sajak Pujangga Baru, para penyairnya tergerak hatinya kalau melihat sesuatu di luar dirinya, misalnya alam . sanusi Pane melihat Candi , kemudian memperoleh kesan sunyi yang agung, dan kesan itulah yang kemudian dituangkanya dalam sajaknya.”Candi Mendut ” Proses terjadinya penulisan sajak Impresionis dapat digambarkan sebagai berikut: alam---penyair—sajak
Tetapi dalam Ekspresionis tidak ditentukan oleh Alam , justru penyairlah yang menetukan gambaran Alam Alam dapat dilihat oleh penyair dengan caranya sendiri.
Kritikus yang pertama kali dapat memahami sajak-sajak Chairil Anwar ialah H.B.Jassin. kritikus ini pulalah yang membela dan menjelaskan karya-karya Chairil Anwar yang bersifat ekspresionis itu. Kebetulan sekitar tahun 1945, H.B.Jassin sendiri sedang mempelajari aliran Ekspresionisme ini.  Ekspresionis bertujuan mendekati sumber pikiran dan kesadaran, pikiran, perasaan dan kesadaran yang paling asli harus dilontarkan keluar sehingga nampak keaslianya dan kesegaranya. Keaslian itu belum terganggu oleh aturan-aturan dan tata sopan di luar seniman, dengan sendirinya akan tergambar semangat perseoranagn, yang tidak ada hubunganya dengan dunia luar. Masyarakat, tidak harus setuju atau dihasilkan sastrawan-ekspresionis. Pandangan pribadi yang asli, murni dan segar inilah yang diungkapkan sastrawan ekspresionis.

Penamaan
Nama Angkatan 45 baru diberikan pada tahun 1949, oleh Rosihan Anwar tetapi banyak para sastrawan yang termasuk angkatan itu tidak menyetujui nama Angkatan tersebut. Memang tahun 1945 adalah tahun Proklamasi kemerdekaan yang sebenarnya membanggakan. Tetapi kaum sastrawan 45 juga melihat bahwa tahun itu merupakan tahun dengan kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan, seperti culik menculik antar pemimpin, korupsi, agitasi, saling cakar-cakaran, pembunuhan dan sebagainya.
Keberatan lain dari sastrawan 45 adalah bahwa mereka merasa tidak takut dengan perbuatan . mereka merasa kurang pantas membonceng nama mentereng Angkatan 45 yang heroik itu. Namun ini dengan sendirinya dapat dibantah. Sebab berjuang tidak selalu memanggul senjata . banyak dari sajak-sajak Chairil Anwar misalnya: yang dapat mengobarkan semangat berjuang dan berkorban seperti ",”Diponegoro”, “Krawang-Bekasi”
Sebelum nama Anglkatan 45 ini menjadi populer dan resmi dipakai untuk menamai suatu angkatan sastra baru, terdapat beberapa nama yang diajukan, Nama-nama itu adala : angkatan Perang, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan sesudah Perang, Angkatan sesudah Pujangga Baru, Angkatan Pembebasan, dan Generasi Gelanggang ( menurut nama ruang budaya yang diasuh Chairil Anwar dan kawan-kawanya).
Jadi nama Angkatan 45 sebenarnya pernah dinamai dengan nama majalah yang mereka asuh, yakni Gelanggang hanya penamaan ini kalah populer dengan Angkatan 45. Dengan demikian setiap generasi penulis cenderung untuk dinmai dengan majalah atau penerbitan yang mewadahi  cita sastra mereka. Dengan demikian kita mengenal generasi Balai Pustaka, generasi Pujangga Baru, generasi Kisah Satra n generasi Horison.

Tokoh-tokoh utama
empat tokoh utam yang sering dianggap sebagai pelopor Angkatan 45 yakni: Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, dan Idrus. Dari keempat tokoh tersebut Chairil Anwar merupakan tokoh sentral, Chairil Anwar boleh disebut sebagai Bapak Revolusi dalam sastra Indonesia modern. Tentang tkoh ini akan dibicarakan tersendiri namun sebagai seniman, keempat tokoh tersebut memiliki ciri-ciri kepribadian sendiri yang berbeda satu sama lain. Bahkan beberapa tokoh mungkin bertentangan, hal ini wajar terdapat dalam satu generasi sastra. Meskipun mereka muncul dalam masa yang sama, disebabkan oleh pengaruh situasi yang sama, tetapi mereka selalu digerakan oleh idealisme yang sama tetapi mereka selalu menempuh jalanya sendiri-sendiri sebagai individu.  Justru ciri kesenimanan seserang ditentukan oleh harkat pribadinya ini. Kalau ia sama dengan yang lain, ia tidak usah dicatat sebagai pribadi seniman.
Chairil Anwar dikenal sebagai pribadi yang individualis dan anarkis. Asrul Sani berpribadi aristrokat dan moralis. Kedua tokoh ini secara pribadi saja sudah sangat bertentangan. Chairil tokoh tidak pedulian, seenaknya sendiri, mengobrak-abrik sopan santun orang beradat dana kadang “jahat” (menipu dan mencuri), sedang Asrul sani manusia yang terhormat banyak membaca dalam kamar yang rapih dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, mencari kemuliaan manusia. Sedang idrus tokoh yang penuh sinisme, ia mengejek kelemahan-kelemahan manusia dan bangsanya. Rivai Apin dikenal sebagai seorang nihilis, seorang yang belum menemukan nilai hidup-hidupnya, kelak Rivai Apn akan memnemukanya dalam pandangan sosialisme. Pribadi-pribadi tadi menggekspresikan dirinya dalam karya-karya sastra mereka, dan gaya pengungkapan sastra. Keempatnya memiliki kesamaan yakni ekspresionisme. Adanya kesamaan sikap ini tercermin juga dalam kritik mereka terhadap sastra Pujangga Baru.

Kelompok Angkatan 45
Angkatan 45 bukan hanya terdiri dari kaum sastrawan belaka, sejak semula Chairil Anwar dan kawan-kawanya sangat erat berhubungan dengan kaum pelukis, dalam kelompok angkatan ini terdapat pula beberapa pelukis yang sepaham dengan Revolusi dalam bidang sastra. Mereka ini adalah S.Sudjojono,Affandi, Henk Ngantung, Mochtar Apin dan Baharudin. Pada pelukis-pelukis ini berkembang pula ekspresionisme dalam seni lukis.
Perhatian kaum sastrawan Angkatan 45 bukan hanya dalam sastra, tetapi jiga meluas dalam bidang seni yang lain. Asrul Sani selain seorang penyair dan eseis dan penulis cerita pendek, juga mempunyai perhatian tehadap bidang teater, bahkan kemudian banyak mengembangkan dirinya dalam bidang teater dan film. Begitu juga Sitor Situmorang selain penyair, pengarang cerita pendek , eseis dan penulis drama, juga seorang tokoh penting dalam kritik film. Trisno Sumardjo disamping seorang penyair, penulis cerita pendek, eseis, penulis drama, penerjemah, juga pelukis dan organisator kebudayaan. Perhatian luas dari para penulis Angakatan 45 ini mengundang banyak seniman cabang lain yamg tidak ragu-ragu menulis dalam media Angkatan 45. Misalnya Para seniman musik seperti Binsar Sitompul dan Amir. Pasaribu banya menulis partitur musik dan menulis esei serta kritik musik dalam media 45. Boleh dikatakan bahwa pada Angkatan 45 kegiatan seni secara menyeluruh merupakan satu kegiatan keluarga besar, saling bekerja sama, saling memahami dan saling merasa selalu angkatan seniman masih terjalin sangat erat pada masa-masa itu. Karya-karya sastra masih diterbitkan bersama dengan sketsa para pelukis, partilur musik, esei musik, seni lukis, drama dan tari. Hal ini dapat memberi jaminan bahwa para sastrawan memiliki wawasan luar dalam bidang seni dan budaya umumnya.
Lembaga Kebudayaan Rakyat
Semangat membangun kebudayaaan Indonesia yang tertuang dalam Surat Kepercayaa Gelanggang ternyata terdesak oleh perubahan yang deras di bidang sosial, budaya dan politik. Pengakuan KRI pada akhir tahun 1948 tidak dengan sendirinya menyelesaian berbagai krisis kehidupan bangsa yeng memang sedang bergolak. Penerapan demokrasi Liberal dengan sistem kabinet parlementer ternyata tidak membuahkan hasil yang membiarakan karena yang terjadi adalah krisis kabinet dengan pergantian perdana menteri yang jarak waktunya pendek-pendek sehingga tidak produktif di bidang Pemerintahan. Krisis itu kemudian diakhiri dengan Dekrit Presiden 5 juli 1959 dengan prinsip kembali ke Undang- Undang Dasar 1945. Sementara itu, di bidang keamanan terjadi krisis kepercayaan sehingga pecah pemberontakan bersenjata di beberapa daerah, seperti Maluku, Sulawesi ,Jawa Barat, dan Sumatera Barat. Di bidang sosial budaya dapat dibayangkan terjadinya perubahan dan pergeseran nilai-nilai kehidupan yeng penuh gejolak. Peristiwa yang penting yang sangat besar pengaruhnya  terhadap dinamika kehidupan Sastra Indonesia adalah berdirinya Lembaga Kebudayaan Rakyat(Lekra) pada 17 Agustus 1950 di tangan tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia, yaitu D.N.Aidit, Njoto, M.S.Ashar. dan A.S Dharta.
Dalam Buku Pintar Sastra Indonesia(Eneste,2001b) tercatat data sejumlah pengarang yang kemudian dikenal sebagai orang-orang Lekra yaitu:
1.      Agam Wispi
2.      Dodong Djiwapradja
3.      Riyono Pratikno
4.      S. Rukiah
5.      Sobron Aidit
Kini nasib mereka memang sudah terlupakan karena tulisan mereka pun sulit dibaca masyarakat umum setelah penerbitan kalangan Lekra dinyatakan terlarang pada Akhir tahun 1965 akibat tragedi politik 30 September 1965. Akan tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan para peneliti dan kritikus untuk secara ilmiah membogkar kembali khazanah pemikiran mereka demi kepentingan sejarah dan ilmu pengetahuan, bahkan sekaligus sebagai pelajaran bagi generasi kemudian.

Majalah Kisah
Majalah kisah menjadi penting dalam sejarah sastra Indonesia karena merupakan majalah sastra yang pertama kali mengutamakan cerita pendek. Dewan redaksinya adalah Sudjati S.A., HB.Jassin, M.Balfas, Idrus dan D.S. Moeljanto. Majalah itu dapat bertahan hampir lima tahun, mulai juli 1953 hingga Maret 1957 dan berhasil menjadi tolo ukur kepengarangan seseorang.  Semangatnya adalah memberikan bacaan yang baik kepada masyarakat ehingga pengarang pun terdorong untuk mencipta karangan-karangan yang bermutu dengan penuh tangggung jawab. Kalaupun majalah itu hanya bertahan selama 5 tahun penyebabnya antara lain menjamurnya bacaan hiburan yang cenderung cabul dengan akibat Kisah tidak dapat bersaing secara komersial. Akan tetapi dalam usia yang relatif singkat itu Kisah telah melahirkan sejumlah pengarang seperti:
1.      Nugroho Notosusanto
2.      A.A. Navis
3.      Trisnoyuwono
4.      Soekanto.S.A
5.      S.M.Ardan
6.      Subagio Sastrowardoyo
7.      Ajip Rosyidi
8.      Toha Mohtar
9.      Nh. Dini
10.  Iwan Simatupang
11.  Motinggo Busye
12.  Kirdjomulyo
13.  Bokor Hutasuhut
14.  Rendra
Tidak lama juga terbit majalah prosa (1955), Seni(1955), Budaya(1953-1962). Konfrontasi(19541961) dan Kompas (1951-1955). Semua itu mrupakan ajang kreativitas para pengarang yang terus bermunculan, diantara mereka terbukti menjadi pengarang-pengarang terkemuka pada belasan tahun kemudian, seperti A.A. Navis,Ajip Rosyidi, Iwan Simatupang, Motingo Busye, Nh.dini, Sitor Situmorang, Subagio Sastrowardoyo, dan Rendra.

Manifes Kebudayaan

Berbeda dengan Lekra, manifes kebudayaan bukanlah sebuah organisasi kebudayaan., melainkan sebuah konsep atau pemikiran di bidang Kebudayaan seperti Surat Kepercayaan Gelanggang. Kemunculanya tidak terkait dengan partai politik atau ideologi tertentu tetapi merupaan reaksi terhadapa teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh orang-orang Lekra. Prosesnya terkait dengan Perkembangan politik yang berawal dari munculnya Konsepsi Presiden pada 21 Februari 1957 yang intinya menolak demokrasi Liberal dan menggantinya dengan demokrasi terpimpin, membentuk kabinet gotong royong dan membentuk Dewan Nasional sebagai Penasihat. Pncak pertahanan kosep itu adalah deklarasi Manifes Kebudayan pada 17 Agustus 1963 yang ditandatangani oleh H.B.Jassin,Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Moehamad,A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, M.Saribi, Poernawan Tjodronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S.Oemarjati.(Teeuw,1980:528). Sementara itu, dalam Prahara Budaya (1995:160)tidak tercantum nama Ekana Siswojo dan Nashar.
Masalah itu dapat dikaji lebih mendalam pada kesempatan lain, sedangkan dalam buku ini yang diutamakn adalah semangat Manifes Kebudayaan





                Daftar Pustaka
Sumarjo,Yakop.1992.Lintas Sastra Indonesia Modern.Bandung:Citra Aditya Bakti.
Sarwadi.2004.Sejarah Sastra Indonesia Modern.Yogyakarta:Gama Media.
Yudiono.2007.Pengantar Sejarah Sastra Indonesia.Jakarta:Grasindo.

0 komentar:

Posting Komentar