Nama : Hartutik Sulistyo Wati
NIM :
2014001099
Kelas : 2c
Mata kuliah :
Sejarah Sastra
Kutipan Novel “Siti Nurbaya”
Karangan Marah Rusli
Dalam satu pekan,
bangkrutlah toko ku itu , sebab kumakan segala kue tersebut . setiap orang yang
membeli kue di toko ku , aku usir agar makanan itu tidakhabis oleh nha,’’ kata
Bakhtiar
Yang mendengar nya
tertawa.
‘’keempat,” kata Arifin
pula, “setiap kali merusakan badan. Teringat kalau kuda sudah terlalu panas,
jadi kehausan, atau orang yang tidak minum selama empat lima hari, tiba-tiba di
beri minum yang banyak, dapat mendatangkan ajalnya.
Yang kelima, yaitu yang
paling utama hampir lupa aku sebutkan, yakni supaya kelak jangan kau rasakan
lelah mendaki, karena ingatanmu telah diikat oleh ceritaku yang menarik.’’
‘’Keenam,’’ menyela
Bakhtiar,’’sebab kita telah sampai ke seberang, haruslah kita bayar sewa sampan
orang,’’ seraya ia mengeluarkan uang empat sen dari saku nya dan memberikan
uang itu kepada tukang sampan, lalu melompat ke daratan. Ketiga temanya pun
melompat mengikutinya.
“Di kedai itu aku lihat
ada tebu, marilah kita beli! Tentu kita nanti akan haus dijalan,’’ kata samsul.
“Aku akn membawa sirup
dua botol,’’ jawab Bakhtiar.
‘’kalau cukup, kalau
tidak cukup, dimana kita cari nanti?’’ kata Samsu pula.
Sesudah membeli tebu,
,ulailah keempat anak muda ini mendaki. Gunung Padang yang tingginya kira-kira
322 m, ialah ujung sebelah utara gunung-gunung rendah, yang memanjang di
sebelah selatan kota Padang. Itulah sebabnya, maka pinggir laut di situ pada
tempat curam dan jarang didiami orang. Asalnya gunung-gunung ini pada bukit
barisan, yang memanjang di tengah-tengah Pulau Sumatera dari ujung barat laut
ke ujung tenggara. Gunung Padang adalah sebagai suatu cabang bukit barisan itu,
menjorok ke barat, sampai ke tepi laut
kota Padang.
Orang Belanda menamai
Gunung Padang ini Apenberg (gunung kera*), sebab di puncaknya banyak kera yang
jinak, yang memberi kesukaan kepada mereka kepada yang mendaki gunung itu
apabila dipanggil dan di beri pisang datanglah kera-kera itu puluhan banyaknya,
memperebutkan makanan ini kera yang besar-besar, terkadang berani merampas
pisang atau makanan lain, dari tangan orang. Sungguh demikian, tak ada orang
yang berani berbuat apapu atas kera-kera
ini, sebab pada sangka anak neger kota Padang, kera-kera itu keramat, tak boleh
diganggu. Jika dibunuh, tentulah yang menangkap itu tak dapat mencari jalan
pulang. Ada pula yang bersangka, bahwa kera-kera itu asalnya dari orang yang
telah mati, yang telah meninggalkan dunia, untuk mendoakan arwahnya.
Walaupun gunung ini
pada hakikatnya tempat sedih dan duka cita, akan tetapi pemandangan di atas
puncaknya sangatlah indah, dijadikanlah tempat bermain. Jalanya brtangga-tangga
naik ke atas supaya pada musim hujan, mudah di daki. Di puncaknya didirikan
tiang bendera yang tinggi. Pada tiap hari Ahad, berkibarlah bendera pada ujung
tiang ini. Dekat tiang bendera itu, di buat sebuah rumah punjung yang bundar,
cukup dengan bangku dan mejanya, tempat melepaskan lelah, akan menyejukan badan
yang panas karena mendaki, dibuatlah ayun-ayuan tempat yang berangin
menggantikan kipas. Sekalian ini dibersihkan oleh orang hukuman. Oleh sebab itu
setiap hari Ahad, dikunjungi tempat ini oleh mereka yang hendak berjalan-jalan
mencari kesenangan dan kesehatan tubuhnya, seraya membawa makanan dan minuman.
Ketika nurbaya dengan
teman-temanya sampai di pertengahan gunung iyu, pada suatu pendakian yang
curam, berkatalah ia sambil mencari batu besar untuk duduk,’’ Alangkah baiknya,
apabila ada kendaraan yang dapat ditunggang ke atas sini!’’
‘’Bagaimana? Belum
sampai separuh jalan, telah lelah,’’ kata Arifin, seraya membuka kancing baju
nya, akan melepaskan hawa panas yang keluar dari badanya.
‘’kalau tulangku
sebesar tulangmu, aku tidak akan berkata sedemikian,’’ jawab Nurbaya.
‘’Ha, sangkaku sekarang
datang waktunya, aku akan menceritakan, asal mulanya keramaian di rumahku tadi
malam, sebab kulihat kamu sekalian berteriak, karena kelelahan,’’ kata Arifin .
‘’Ya, ya,’’ jawab
Bakhtiar ,’’ mulailah!’’
‘’baik,dengarkan dan
perhatikan benar-benar!’’ kata Arifin pula, lalu bercerita, ‘’tatkala berbunyi
katuk-katuk aku sedang dengan orang tuaku di serambi belakang, hendak makan.
Sangat terkejut kami, sebab bunyi katuk-katuk itu datang dari rumah jaga, yang tiada
berjauhan dari rumah kami. Ayahku lalu melompat dari kursinya dan berteriak
kepada opasnya,’’Saban, suruh pasang bendi!’’ kemudian masuklah ia ke dalam
biliknya akan menukar pakaianya. Seketikakemudiann, keluarlah pula ia, lalu
berteriak, sambil mengancingkan baju nya,’’ Sudah ,saban’’
‘’Sudah.engku,’’ jawab
opas ini.
Ayahku lalu turun,
sambil berkata kepada ibuku,’’Mauk ke dalam dan tutup pintu!’’
Ibuku yang rupanya
sangat terkejut, tak dapat berkata apa-apa, hanya,’’Hati-Hti’’ tatkala
dilihatnya ayahku turun.
‘’Jangan khawatir!’’
jawab ayahku,lalu melompat ke atas bendinya.
Maka tinggalah kami
dengan si Baki, sebab kusir tak ada di rumah. Katuk-katuk itu bunyinya semakin
lama semakin keras, sehngga kami makin lama makin bertambah takut. Maka
disuruhlah oleh ibuku tutup pintu jendela, lalu kami masuk ke dalam bilik.
Karena takut, tidak ingat kalau kami lapar.
‘’Ya,benar.’’ Kata
samsu, ‘’Kami di rumah pun demikian pula; hanya bertiga dengan bujang saja.
Ayahku sejak pukul lima petang tak ada di rumah. Coba kalau ada apa-apa,
bagaimana dapat melawan? Untunglah ayah Nurbay datang ke rumahku, mengatakan
kami tak usah takut, sebab pengamukan itu jauh. Dan lagi kalau ada apa-apa ia
segera datang.” ( kutipan Novel Siti Nurbaya : 35,36,37)